Rabu, 21 Januari 2004
Oleh : Henni T. Soelaeman
Sosoknya dikenal santun, bersahaja, dan pemalu. Ia mengangankan kemakmuran bagi Indonesia mini yang bernama Kelompok Kompas Gramedia. Bagaimana ia memimpin lebih dari 10 ribu karyawannya?
Pada penghujung Januari 2001, matahari baru sepenggalah, seorang karyawan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) bergegas memasuki lift. Ketika angka enam menyala dan pintu lift terbuka, perasaan sukacita masih menyergapnya. "Gile, gue mau ngomong apa, ya," batinnya seraya terus melangkah menyusuri koridor sebelum akhirnya masuk satu ruangan. Ia masih tak percaya saat sekretaris Jakob Oetama menelefonnya. "Dipanggil Bapak." Selama lebih dari lima tahun bekerja sebagai karyawan KKG, baru pertama kali ini ia menjejakkan kaki di ruangan itu dan bertemu dengan Jakob Oetama, berdua saja di ruang kerja Presiden Direktur dan Chief Executive Officer KKG.
"Terima kasih atas bantuan yang Bapak berikan." Kalimat itu langsung meluncur dari mulut si karyawan itu begitu berhadapan dengan Jakob. Pada hari sebelumnya, atasannya memberikan titipan bantuan dari Jakob atas musibah yang menimpa keluarganya. "Saya ini seorang ayah yang memiliki banyak anak. Kamu layaknya seorang anak yang kalau punya masalah atau persoalan datang ke bapaknya." Kalimat yang disampaikan Jakob itu sampai saat ini masih tersimpan di memorinya.
Sepenggal kenangan juga disimpan August Parengkuan, wartawan senior Kompas dan Presiden Direktur PT Duta Visual Nusantara Tivi (TV7). Ketika berada di Australia untuk tugas jurnalistik, Jakob Oetama menelefon istrinya. "Ia menanyakan kabar keluarga, termasuk anak-anak, selama saya pergi. Bagaimana saya tidak terharu," kenang August. Menurut dia, bukan hanya ia saja yang mendapatkan perhatian khusus. Karyawan lain pun memperoleh perlakuan yang sama dari Jakob. Bos KKG itu sering jalan-jalan mendatangi unit lain. Sapaan, semisal selamat pagi, apa kabar, meluncur dari bibir Jakob saat berpapasan dengan karyawan KKG, entah itu office boy, staf, sampai manajemen puncak. Terkadang Jakob sekadar tersenyum atau menepuk bahu atau punggung karyawan yang ditemuinya. Tengah malam menjelang dini hari, meski tidak serutin dulu, Jakob menyambangi percetakan. "Bayangkan, CEO yang memimpin 10 ribu karyawan bersikap seperti itu," ujar August.
August juga merekam kenangan lain. Saat Jakob masih menjadi komandan Kompas, sering tiba-tiba saja ia muncul di ruang redaksi. "Sedang mengerjakan apa? Ada kesulitan atau tidak? Sudah makan?" Begitu J.O. -- panggilan akrab Jakob -- menyapa anak buahnya yang berkutat dengan deadline. Pada hari tertentu, ruang redaksi Kompas "pecah" oleh jeritan kaget seorang rekan karena mendapatkan kartu ucapan selamat ulang tahun di mejanya dari J.O. "Sekarang jarang, ya, karyawannya sudah ribuan," aku Jakob.
Jakob dikenal luas sebagai orang bersahaja. "J.O. ditawari fasilitas mobil Mercedes Benz, namun ia menolaknya," cerita August. August, yang menambahkan, sebenarnya J.O juga pemalu. Ia sering terlihat berdiri sendirian di pojok saat menghadiri pesta. Ia juga memilih datang sendiri, tanpa sang istri. Selain pelahap buku dan jogging setiap pagi, tak banyak karyawan yang tahu kehidupan pribadi Jakob.
Memanusiakan manusia, begitulah filosofi J.O. "Saya sosok yang I do care," ungkap J.O. Ia tak pernah memandang level karyawan. Siapa pun disapanya. Siapa pun dia dijenguknya kalau mendapatkan musibah, semisal keluarganya sakit atau meninggal. Saat sopir kantor di kampung sakit, J.O., seperti diceritakan August, menengok ke rumahnya. "Ibaratnya kami bekerja di sini diuwongke," kata August. Tapi, beberapa tahun terakhir ini, karena faktor usia yang sudah merambat tua, J.O. mengaku tak selalu menyambangi langsung ke rumah karyawan yang tertimpa musibah. "Sudah tak sekuat dulu dan karyawannya makin banyak," tuturnya.
Perhatian dan kepedulian Jakob setali tiga uang dengan perilakunya yang santun, bahkan kerap dinilai oleh karyawannya kelewat santun. Sebagai orang Jawa, Jakob dipandang sangat njawani. Di lingkungan KKG, Jakob dikenal sebagai pribadi yang menjaga perilaku. "Ia takut menginjak kaki orang lain, takut menyinggung orang lain," ungkap seorang karyawan. Bahkan, menurut Vaksiandra, Redaktur Pelaksana majalah Hai, "Kultur yang dibangun di KKG juga kultur Jawa, sangat kulonuwun, ewuh pakewuh," katanya. Di matanya, pribadi Jakob yang terlalu njawani dengan sikap rendah hati membuat sosoknya sebagai pemimpin tidak tampak jelas. "Kalau ingin melihat sosok sebenarnya J.O., lihat saja bagaimana bahasa Kompas. J.O. itu tidak meledak-ledak dalam menyampaikan kritik, bahasanya halus padahal nyelekit bagi yang memahami makna yang tersirat di balik kalimat itu," ujar August.
Perilakunya yang santun dan ewuh pakewuh tak jarang justru menjadi bumerang bagi perusahaan. Saat Jakarta-Jakarta, Tiara, dan Raket harus ditutup, Jakob tak mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK). Karyawannya disalurkan ke unit bisnis lain atau ke media lain di bawah payung KKG. Padahal, SDM di unit tersebut sejatinya sudah pas. "Akhirnya, ya dijejal-jejali dan buntutnya menjadi tidak produktif," tutur karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya itu. Dalam perjalanannya, PHK akhirnya diberlakukan bagi karyawan Raket. Itu pun berkat desakan karyawan. Imbalan pesangon yang sangat besar -- untuk ukuran media baru dan tengah collaps -- lantas diberikan Jakob.
Kepedulian dan perhatian J.O. kepada karyawan yang terpancar dari prinsip I do care tersebut diterapkan sebagai falsafah manajemen di lingkungan perusahaan. Dalam memberdayakan karyawannya, J.O menerapkan falsafah We do care. Manajemen, menurut dia, wajib seoptimal mungkin menerapkan falsafah We do care sebagai wujud kewajiban perusahaan atas hak karyawan.
Sebagai wujud falsafah ini, ia mengaku selalu berupaya peduli atas segala kebutuhan karyawannya. "Kita harus tahu apa yang diinginkan oleh karyawan. Dengan kepedulian, berarti kita menghargai keberadaan mereka. Jangan hanya memperlakukan mereka sebagai mesin penghasil uang," katanya. Tak heran, Jakob begitu memperhatikan kesejahteraan karyawan. "Imbalan yang pas sesuai dengan beban kerjanya akan membuat karyawan lebih termotivasi bekerja dengan lebih baik," jelasnya. Meski begitu, ia menganggap sistem penggajian di KKG belum sempurna.
Menciptakan perusahaan yang adil, makmur, dan merata bagi seluruh karyawan --"Itu cita-cita J.O.," ungkap August. Menurut dia, J.O. sangat peduli atas masalah hak karyawan, seperti gaji dan tunjangan supaya karyawan KKG hidup lebih layak. Saking pedulinya, khususnya di level bawah atau staf, J.O. lebih dulu membuatkan perumahan bagi karyawan level bawah. Sementara itu, karyawan di level manajemen menengah atas belakangan. "Ha..ha..kita pernah iri atas kebijakan itu. Kok, kita dapat rumahnya belakangan?" cerita August.
Bagi Jakob, menyejahterakan karyawan itu kewajiban perusahaan. "Mereka aset, ya harus mendapatkan hak-haknya dengan baik," katanya. Menurut dia, dengan tingkat kesejahteraan yang baik, karyawan pun akan termotivasi memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Mereka juga menjadi loyal. Secara jujur, ia bangga bahwa turn over karyawan di perusahaannya relatif kecil. "Di bawah 5%," tambahnya. Kata seorang karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya, "Jakob tahu sekali bagaimana membuat karyawan betah bekerja di sini."
Ibarat pisau bermata dua, sikap We do care perusahaan bukannya tak menerbitkan riak. Ia tidak menampik bahwa upaya selalu memenuhi kebutuhan karyawannya agar sejahtera menciptakan pegawai yang cenderung terlena dengan segala kemapanan yang diperoleh karena bekerja di KKG dan tidak didapatkan di tempat lain. Buntutnya berkembang istilah rajin malas sama saja alias RMS. Pasalnya, sistem penggajian dan pemberian fasilitas KKG sangat jelas. Parameternya ialah lama bekerja, bukan pada performa karyawan. Prestasi karyawan lebih untuk mendongkrak posisi. Misalnya, tahun ke berapa mendapatkan fasilitas pinjaman rumah, kendaraan, atau yang lain, jelas tertuang. Artinya, rajin atau malas, fasilitas dan tunjangan tetap diberikan.
"Namun kami saat ini sudah menerapkan pemberdayaan SDM melalui sistem penilaian karya," kata Jakob. Dengan sistem ini, diharapkan karyawan lebih termotivasi menunjukkan kinerjanya. "Supaya juga tidak ada istilah RMS itu," ungkap J.O. Penilaian karya ini dievaluasi setiap enam bulan dan dipantau terus-menerus oleh pihak SDM.
Ruang seluas 30-an meter persegi di lantai 6 Gedung KKG, Jalan Palmerah Selatan, berhawa sedikit panas, sepertinya pendingin ruangan tidak berfungsi dengan baik. CEO KKG, Jakob Oetama, menerima tim SWA. "Saya hanya punya waktu sampai pukul 11.15 ya, karena ada janji bertemu orang," kata J.O. Di dinding ruang bercat putih itu, waktu menunjukkan pukul 10 lewat 5 menit. Jakob terlihat santai dengan kemeja biru muda dipadu celana biru tua lengkap dengan dasi bermotif garis bintik-bintik dan tanda pengenal melekat di dada kirinya. Ballpoint Montblanc terselip di saku kemejanya.
Kami dari SWA duduk di sofa berwarna krem. Lemari berisi buku koleksi Jakob berderet rapi sepanjang lebih dari lima meter. "Bagaimana perasaan Bapak terpilih menjadi The Best CEO?" SWA memulai perbincangan. Jakob tak langsung menjawab. Sejurus ia diam lantas menyungging senyum. "Itulah, saya pakewuh," katanya. Ia mengaku surprise sekaligus heran karena terpilih sebagai The Best CEO 2003. "Semestinya orang lain saja yang lebih muda usia yang meraih ini. Saya sudah tua lho, 72 tahun," tambahnya. Wajah sepuh-nya memang tergurat jelas pada garis mukanya. Rambutnya yang dibiarkan agak gondrong menyembulkan gumpalan uban.
"Kalau boleh saya menilai diri saya sendiri, saya itu orangnya ngemong. Mungkin karyawan suka kepada saya karena sikap ngemong ibarat bapak kepada anaknya," papar J.O. mengomentari bahwa terpilihnya ia sebagai The Best CEO karena penilaian pegawainya juga. "Sebenarnya, saya tidak sehebat seperti yang dibicarakan karyawan saya. Sebetulnya saya biasa-biasa saja," katanya.
Selama memimpin KKG, ia menegaskan falsafah leadership yang dianutnya ialah falsafah ngemong. Arti ngemong baginya itu menggerakkan, mengajak, memotivasi, menyemangati, menjelaskan, dan bagaimana melakukan komunikasi. Di matanya, kunci keberhasilannya ialah berkomunikasi dengan seluruh karyawan dari semua level. "Komunikasi itu sangat penting," katanya. Bentuk komunikasi sederhana yang dianutnya ialah sekadar menyapa karyawan: apa kabar? selamat pagi!
Komunikasi tersebut dijabarkan juga lewat forum karyawan di setiap unit usaha. Secara berkala, ia mengadakan pertemuan dengan direktur seluruh unit bisnis. Pertemuan resmi ia dengan seluruh karyawan KKG dilakukan setiap acara syukuran tahunan yang jatuh pada Januari. Menurut dia, acara tersebut sangat ditunggu-tunggu seluruh karyawan KKG. "Karena pada acara itu Bapak mengumumkan kenaikan gaji. Tahun ini, berapa persen?" timpal SWA. "Kok tahu?? tanyanya, keningnya mengerenyit. Tanpa menunggu jawaban SWA, ia menambahkan, "Ya, itu sebenarnya yang ditunggu-tunggu karyawan," katanya menyungging senyum. Untuk mengomunikasikan visi, misi, dan garis besar kebijakan perusahaan kepada seluruh karyawan, J.O. menjelaskan bahwa KKG memiliki pedoman baku perusahaan, yang seluruh karyawan wajib mematuhinya. Ini termasuk melalui sharing knowledge dan experience dengan pegawai yang dilakukan lewat pertemuan rutin, baik langsung di depan karyawan, lewat forum karyawan, atau acara lain.
Guna mempercepat pencapaian visi dan misi, J.O, menekankan kerja sama tim. Tim kerja yang solid dan baik memudahkan dan mempercepat pencapaian visi dan misi yang ingin dicapai perusahaan. Ia melihat dirinya sebagai sosok team builder. Baginya, sosok pemimpin itu harus mampu menjadi team builder. Sebagai pemimpin, J.O. mengakui dirinya bukanlah orang yang menguasai banyak hal. "Saya harus tahu diri bahwa saya tidak menguasai semua hal atau banyak hal," ucapnya. Ia lebih senang membangun tim yang terdiri atas beberapa orang yang memiliki kelebihan masing-masing dengan pembagian kerja dan tanggung jawab kerja yang jelas. "Seluruh anggota tim bertanggung jawab baik atas kesuksesan maupun kegagalan," jelasnya.
Adanya tim kerja membuat dirinya bisa lebih memobilisasi karyawannya dengan segala kelebihan di bidangnya. Ia sadar bahwa perusahaan ini memiliki keragaman keahlian. Perusahaan ini memerlukan keahlian di berbagai bidang agar bisa tetap jalan. Bermacam keahlian itu dijadikan satu dalam forum atau tim, baik di tingkat corporate management maupun di setiap unit usaha.
Dengan beragam SDM yang memiliki beragam keahlian, latar belakang, dan budaya, J.O. memilih melakukan pendekatan kultural. Melalui pendekatan ini, ia berusaha memahami dan mengerti bagaimana sifat, karakter, dan perilaku karyawannya yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun berbeda, J.O. menginginkan ada kultur yang berlaku umum bagi seluruh karyawan di dalam ruang lingkup KKG. Salah satu kultur di KKG ialah budaya kerja tim yang harus terus-menerus dibina dan dibangun. Lewat tim, berarti ada komitmen bersama yang patut disepakati bersama." Dengan adanya tim kerja, tujuan akan lebih cepat tercapai sehingga waktu dapat dimanfaatkan secara optimal dan efisien," tegasnya.
Sebagai pucuk kepemimpinan yang menaungi kemajemukan, ia berupaya seadil mungkin memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh karyawan untuk maju dalam konteks demi kemajuan perusahaan. Ia mengibaratkan KKG sebagai Indonesia mini. "Beragam suku, budaya, agama, etnis, ada di sini. Ini menjadi sumber kekuatan perusahaan," katanya. Ia ingin menciptakan Indonesia mini yang makmur, kaya, dan adil di dalam lingkup perusahaan. "Sejak mendirikan perusahaan ini, saya sudah mencanangkan akan membawa perusahaan ini sebagai Indonesia mini," jelasnya.
Sebagai komandan, J.O. berupaya menyelaraskan penerapan sistem manajemen bisnis yang baku dengan suasana kekeluargaan. "Sejak awal, saya ingin perusahaan ini sebagai keluarga kedua bagi karyawan karena mau tidak mau sebagian besar waktu karyawan itu dihabiskan di kantor," tuturnya. Menurut dia, kelugasan sikap, ketelitian, kedetilan, dan ketepatan waktu, serta perhitungan eksak sangat diperlukan dalam bisnis. Toh, bisnis yang bernuansa kekeluargaan juga bukanlah hal yang jelek. Dalam pandangannya, suasana kekeluargaan dan keharmonisan penting bagi kemajuan bisnis. "Kita harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan manajemen bisnis dengan asas kekeluargaan," tegasnya. Caranya? "Bersama almarhum P.K. Ojong, sejak awal berusaha betul menerapkan dan menjalankan Good Corporate Governance (GCG)," katanya. GCG, menurut dia, diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan bisnis yang sakelijk dengan bentuk manajemen kekeluargaan. Jurus yang dilakukannya ialah membuat sistem kontrol yang jelas, baku, dan hitam putih. Rambunya jelas dan transparan. Sebagai pemimpin tertinggi, ia selalu menjaga agar tidak ada kebocoran dalam hal keuangan perusahaan. "Ini saya perhatikan betul mengingat pundi-pundi keuangan itu demi kemakmuran bersama," ujar Jakob yang memercayakan pengelolaan keuangan kepada pihak yang profesional dan ahli. Dikatakan August, dalam menjalankan bisnis, J.O sangat konservatif. "J.O. sangat berhati-hati mengeluarkan setiap sen uang perusahaan," paparnya.
Sebagai pelaku bisnis, ia berpikir bahwa dirinya juga memiliki tanggung jawab sosial dan berkontribusi penting pada kemajuan sosial bangsa. Ia setuju bahwa pelaku bisnis wajib diberi tanggung jawab sosial. Ia melihat pada iklim ekonomi pasar yang berlaku saat ini, pelaku bisnis harus diperlakukan secara proporsional karena kehadirannya diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi sektor riil. Dalam membangun SDM, hal mendasar ialah pemilihan karakter, yang diutamakan sejak awal perekrutan karyawan. Fleksibel, luwes, berpikiran terbuka, dinamis, berani menerima kritik, asertif, jujur, peduli orang lain, bisa saling memberi dan menerima serta teratur --itulah kriteria SDM yang menjadi parameter KKG. "Karakter karyawan yang tidak malas, tepat waktu, jujur, tidak manipulatif itulah karakter yang saya sukai," ujar Jakob.
Untuk menciptakan SDM yang berintegritas, kompeten, dan accountable, J.O. berusaha menjalankan nilai-nilai yang disepakati bersama sehingga dirinya dapat menjadi sosok yang patut disegani dan dihormati oleh karyawannya. Sebagai pemimpin, ia mengaku berusaha untuk selalu sejujur dan selurus mungkin dalam menjalankan bisnisnya. Baginya, hal ini patut dijalankan agar menjadi contoh yang baik bagi anak buahnya. "Masa kita bicara A tetapi sikap kita B? Wah, nggak boleh begitu jadi pemimpin," ujarnya. Memberikan contoh yang akhirnya menjadi panutan, begitulah yang dilakukan Jakob. "Saya selalu berusaha memberikan contoh, dalam hal ketepatan waktu, misalnya," katanya.
Yanti, sekretarisnya, memuji J.O. sebagai sosok yang memiliki disiplin waktu tinggi. Ia pernah menanyakan pada Big Boss-nya mengapa selalu tepat waktu? "Nanti jadwal orang juga bisa berantakan hanya gara-gara menunggu saya," ujarnya mengutip jawaban Jakob. Bahkan, J.O. mengatakan ketepatan waktunya itu sebagai salah satu wujud penghargaan dirinya terhadap hasil kerja keras sekretarisnya yang sudah mengatur jadwal sedemikian rupa.
Tak ada gading yang tak retak, sebagai pemimpin, Jakob mengaku memiliki kekurangan. Ia menyadari kadang dirinya dilihat sebagai sosok yang sangat penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan sehingga terlihat lambat dalam mengambil keputusan di mata anak buah. August menjelaskan, kelemahan J.O. lebih pada cara dan bagaimana J.O. mengambil keputusan. "Bagi orang yang berkarakter agresif, J.O. dianggap lamban. Semua hal dipikirkan masak-masak. J.O. itu paling tidak bisa diburu-buru dan didesak-desak dalam mengambil keputusan. J.O. sangat tidak menyukai pendesakan. J.O. akan melihat dari segala sisi ketika akan mengambil keputusan. J.O akan menanyakan berbagai macam pendapat dari banyak pihak," papar August.
August mencontohkan ketika J.O. mengambil langkah investasi di bisnis televisi. Sebelum lahir TV7, J.O. melemparkan ide ini kepada top management. Ia sharing argumen dan knowledge tentang rencana merambah bisnis tv. Tidak hanya dengan top management, J.O. jalan-jalan keliling perusahaannya dan menanyakan pendapat karyawan yang ditemuinya tentang idenya tersebut. "Jadi, realisasi ide itu ialah buah pikiran bersama. Nggak heran kalau ia lama mengambil keputusan," terang August.
J.O. sangat mengakui keterbatasan dirinya. Meski ujungnya ia yang tetap memegang dan mengetuk palu dalam memutuskan sesuatu. "Saya bukanlah orang yang bisa semua hal. Saya butuh orang untuk mendampingi saya menjalankan bisnis ini, termasuk konsultan, sebelum saya mengambil keputusan bisnis," tegas Jakob. Sebagai pelaku bisnis, ia memercayakan dan mendelegasikan tugas kepada para profesionalnya. J.O terbuka terhadap saran dan pendapat para profesionalnya. Itu tak hanya di ruang rapat. Misalnya ada rencana bisnis tertentu, kepada karyawan yang ditemuinya ketika ia naik lift atau berpapasan dengannya tanpa memandang levelnya, J.O. selalu berusaha mengumpulkan pendapat. "Inilah mengapa J.O dikenal dengan gaya management by walking arround. Ia tidak bersikap mentang-mentang sebagai presdir," jelas August.
Tak hanya terbuka pada kritik. Jakob dikenal fleksibel dalam mengantisipasi perkembangan zaman, termasuk bisnis. "Strategi bisnisnya jauh ke depan," kata Vaksiandra. Dia punya pengalaman ketika Kompas membuat sisipan Muda yang menggandeng Hai dan Kawanku. Jakob menilai sisipan itu secara bisnis ke depannya akan menguntungkan karena punya daya jual tinggi.
Diakui Jakob, sistem di KKG akan terus-menerus dibangun dan disesuaikan dengan perkembangan zaman yang mengacu pada visi dan misi perusahaan. "Kalau bersikap kaku, waduh, bagaimana perusahaan ini berkembang. Generasi saya dengan generasi sekarang itu sangat jauh berbeda. Anak muda lebih dinamis, agresif, terbuka, dan asertif," katanya.
Anak muda pula memang yang dipilih Jakob menggantikan posisinya sebagai Pemred Kompas. Suryopratomo, kelahiran 1961, didapuknya menjadi orang nomor satu di jajaran redaksi Kompas. "Para redaktur senior sudah mendekati masa pensiun dan mereka juga telah mendapatkan pekerjaan lain yang tidak kalah beratnya dari tugas pemred," ungkap Jakob ketika ditanya mengapa bukan August Parengkuan atau Ninok Leksono yang tampil.
Alih generasi mulai dilakukan. Siapa calon penggantinya? Boleh jadi saat ini ia tengah mengelus-elus jagonya. Dan, bisa saja pilihan orang yang menggantikannya akan banyak mengejutkan. Seperti ketika ia memilih Suryapratomo. "Saya sangat berhati-hati dalam memilih pengganti saya. Yang jelas nota bene berasal dari dalam KKG sendiri," ucapnya.
Itu bukan berarti ia tak membuka diri bagi profesional di luar KKG. Untuk posisi tertentu di level supervisor dan manajer, KKG membuka diri untuk mencari pemimpin yang berasal dari profesional karier dari luar, bukan dari dalam. Langkah ini ditempuh untuk menjawab tuntutan dunia bisnis yang bergerak cepat dan dinamis. Hal ini dilakukan agar KKG lebih dinamis, agresif, dan inovatif. Secara jujur ia mengakui bahwa para profesional dari luar KKG lebih asertif, dinamis, percaya diri, dan aktif mencari terobosan dalam pengembangan bisnis. Kelebihan itu dipadukan dengan kemampuan SDM KKG dari dalam yang lebih paham dan mengerti bagaimana dan siapa itu KKG. Ia telah memutuskan mem-blending-kan SDM profesional dari luar dan dalam. Namun, untuk level direksi, ia masih menyiapkan dari orang dalam.
Dalam mempersiapkan penggantinya, ia menganut paham lokomotif yang tetap menggandeng gerbongnya. Ia masih bisa menggandeng calon penggantinya sebelum ia benar-benar turun atau pensiun agar bisa mengawasi jalannya perusahaan dan bagaimana calon penggantinya itu memimpin. "Pelan-pelan saya akan melepas gerbong itu," ujarnya.
Ia menegaskan dan menyarankan, ada cara yang mudah jika ingin menjadi pemimpin yang sukses di KKG. "Caranya gampang. Jangan lihat ke atas tetapi lihatlah ke bawah, samping kiri dan kanan supaya peduli pada apa yang terjadi di sekitar kita," ungkapnya. Ia mengaku tidak pernah membayangkan bahwa Kompas dan KKG akan menjadi besar seperti sekarang ini.
Bagi Jakob, keberhasilannya sebagai pemimpin sejatinya harus dilihat dari bagaimana kondisi perusahaan (KKG) setelah ia undur diri dari manajemen. Apakah KKG tetap jalan atau tidak? Jika KKG tetap berjalan dan berkembang, ia menganggap dirinya telah berhasil memimpin. Jika tidak, berarti ia telah gagal memimpin. Ia merasa sukses kalau berhasil mengantarkan penggantinya bisa tetap mempertahankan bisnis ini berjalan terus. "Jika hancur, ia sering kali akan merasa berdosa karena menyangkut hidup karyawannya," ujar August mengutip perkataan Jakob Oetama yang kerap dikatakan kepadanya.
Di mata August, bisa saja seorang CEO diganti atau tergantikan. Tetapi, sosok pemimpin yang sangat kebapakan seperti Jakob Oetama jarang sekali ditemui. Jika terjadi alih generasi dari kepemimpinan J.O. kepada penerusnya, August berpendapat bahwa sesungguhnya KKG kehilangan sosok bapak selayaknya anak yang kehilangan ayahnya. "Siapa pun penggantinya, sosok ayah yang ada di J.O. tidak dapat tergantikan. Kelebihan dan kelemahan J.O. bisa diterima dengan baik karena J.O. itu seorang ayah," kata August. Tanpa bermaksud mendahului Sang Khalik, August mengungkapkan saat ini karyawan sangat khawatir akan kondisi kesehatan J.O. mengingat usianya yang semakin tua.
Jakob Oetama lahir di Borobudur, 27 September 1931. Selepas menamatkan SMA Seminari di Yogyakarta, anak pensiunan guru di Sleman ini mengikuti jejak sang ayah, menjadi guru. Ia pernah mengajar di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat, dan SMP Van Lith Jakarta. Di sela mengajar, ia menyisakan waktu menjadi redaktur mingguan Penabur. Selain mengantungi ijazah B1 Ilmu Sejarah, Jakob tercatat sebagai alumni Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (1959) dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1961).
"Saya mencintai profesi guru," kata Jakob saat akan diabadikan kamera di depan meja kerjanya. "Mengapa kemudian memilih menjadi wartawan?" tanya SWA. "Saya tidak akan seperti ini kalau tetap menjadi guru," ungkap Jakob. Bukan dalam konteks materi. Kompas tak hanya surat kabar yang saat ini bertiras lebih dari 500 ribu eksemplar. Ia menawarkan sejumlah soal dan menggelindingkan opini publik. Kontribusi pemikiran J.O. di Kompas masih dominan. Ia masih menjadi think thank Kompas. Pengaruh kuat Jakob terlihat dari pameo: Jakob Oetama adalah Kompas dan Kompas adalah Jakob Oetama. "Pengidentikan itu wajar. Saya salah satu perintis kelahiran Kompas dan masih berkontribusi besar pada kemajuan Kompas dan KKG," kata Jakob.
Jakob sendiri lebih senang menyebut diri wartawan ketimbang pelaku bisnis. "Jabatan sebagai CEO sebagai co-incident," katanya. Ketika pertama kali usaha ini dirintis, J.O. lebih disiapkan sebagai pemimpin redaksi sementara P.K Ojong sebagai pemimpin perusahaan. Wafatnya P.K. Ojong pada 1980-an membuat ia harus segera mengambil alih tampuk kepemimpinan perusahaan.
Sebagai pengusaha, Jakob sukses mengerek KKG menjadi kerajaan bisnis pers terbesar di Indonesia. Memang tidak semua media di bawah KKG menghasilkan pundi-pundi uang berlimpah. Tulang punggung KKG di luar penerbitan buku ialah Kompas. Meski ia menolak disebut kapitalis, bisnisnya terus merambah berbagai lini. Penerbitan pers, jaringan toko buku Gramedia, hotel (Grahawita Santika), penyiaran radio (Radio Sonora), kertas tisu (PT Graha Kerindo). Total ada 42 anak perusahaan yang bernaung di bawah payung KKG. Total omset KKG pada 2001 saja diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1,05 triliun.
Keberhasilan KKG diakuinya juga berkat andil dan kerja keras seluruh karyawan. "Tuhan juga memberkati perusahaan ini," tegasnya. Sekarang ini, yang selalu menghantuinya justru bagaimana bisnis ini tetap berjalan setelah ia tidak ada. "Pertanyaan apakah bisnis ini tetap ada atau tidak setelah saya tidak ada, itu yang selalu ada di benak saya," katanya. Ia mengakui hal ini menjadi concern-nya mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Ia merasa sudah saatnya turun tahta. "Anak saya tidak ada yang tertarik terhadap bisnis media. Satu anak saya terjun mengurusi hotel," kata Jakob yang memiliki lima anak.
Jakob menanggalkan kartu pengenal di dadanya sesuai dengan permintaan fotografer. "Saya sering dibilang teman lupa asal," ujar Jakob sembari membagikan kartu namanya kepada tim SWA. Pukul 11.05, Yanti, sekretaris Jakob, melongok ke ruang kerja Jakob. "Bapak ada janji lain, harus pergi," katanya.
Kami beriringan menyusuri koridor dan memasuki lift. Jakob tersenyum kepada satpam yang memencetkan tombol lift. Di dalam lift, ia membuka notes kecil dari saku celananya. "Jam 12 siang di Grand Hyatt." Pintu lift terbuka di angka 3, seorang wanita muda masuk. "Siang Pak," sapanya. "Mau ke mana?? Jakob mendekati wanita muda yang rupanya wartawan Kompas. "Ke gereja? Ada acara apa?" tanya Jakob. Lift terbuka, wanita itu bergegas keluar, "Duluan, ya Pak." Jakob melangkah pelan, agak tertatih ke luar lift. "Dia ahli Amerika Latin," katanya. Kami menyesuaikan langkah kami supaya tetap seiring.
Di lobi, Jakob bersua dengan Julius Pour dan mantan Wakil Pemimpin Umum Kompas, A. Roesilah Kasiyanto. Jakob menjabat erat Roesilah dan saling bertukar berita. Tak lama itu. Di depan lobi, mobil pribadinya, BMW seri 5 warna hitam, telah menunggu yang akan membawanya ke Grand Hyatt bertemu Adam Schwartz, penulis buku Nation in Waiting.
Reportase: Tutut HandayaniRiset: Vika Octavia
Sumber Swa
No comments:
Post a Comment